Sejarah Kerajaan Mataram Islam

Sejarah Kerajaan Mataram Islam- Kerajaan Mataram mulai berdiri tahun 1582, terletak di daerah Kota Gede sebelah tenggara kota Yogyakarta,  kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan yang mengklaim masih keturunan penguasa Majapahit.
Sejarah Kerajaan Mataram Islam
Sejarah Kerajaan Mataram Islam
Asal usul kerajaan ini adalah berasal dari sebuah kadipaten dibawah Kesultanan Pajang (Sultan hadiwijaya), berpusat di Bumi Mentaok yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya mengalahkah Arya Penangsang, selanjutnya Ki Ageng Pemanahan mulai membangun Mataram sebagai tempat pemukiman baru dan persawahan, akan tetapi kehadiranya didaerah ini dan usaha pembangunanya mendapatkan tanggapan penguasa setempat, misalnya Ki Ageng Giring, Ki Ageng Tembayat dan Ki Ageng Mangir.
countinue readAkan tetapi ada sebagian pejabat yang memberi sambutan baik akan hal itu seperti Ki Ageng Karanglo, walaupun demikian Ki Ageng Pemanahan tetap melakukan pembangunan didaerah tersebut yang berpusat di Plered dan juga mempersiapkan strategi untuk menundukkan siapa saja yang mementang kehadiranya.

Tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia dan digantikan oleh putranya bernama Sutawijaya atau Pangerang Ngabehi Loring Pasar, selain beliau bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya, dia pun bercita-cita untuk membebaskan diri dari kekuasaan Pajang, sehingga hubungan antara Mataram dan Pajang pun mulai memburuk hingga berujung peperangan. Dalam peperangan ini Kerajaan Pajang mengalami kekalahan dan Sultan Hadiwijaya meninggal.

Kemudian Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar panembahan senopati. Ia mulai membangun kerajaanya dan memindahkan pusat pemerintahan di Kotagede.

Pada tahun 1590 kerajaan Mataram menaklukan Madiun, Jipang, Kediri  kemudian melanjutkan dengan menaklukan Pasuruan dan Tuban.

Sebagai raja islam yang baru beliau mempunyai tekad untuk menjadikan Mataram menjadi pusat budaya dan agam Islam, sebagai penerus kesultanan Demak.

Kerajaan Mataram Islam saat itu menganut system  Dewa – Raja. Yang berarti kekuasaan tertinggi mutlak berada pada Sultan.

Sultan Wijaya meninggal  dan dimakamkan di Kotagede dan digantikan putranya bernama Mas jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati, pada masa ini tidak banyak mengalami kemajuan dikarenakan beliau meninggal karena kecelakaan saat berburu dihutan krapyak yang kemudian digantikan putra keempatnya yang
bergelar Adipati Martoputro, akan tetapi karena Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf  maka tahta beralih ke putra sulung Mas jolang yang bernama  Raden Mas Rangsang, pada masa ini kerajaan mataram mengalami kemajuan dan mengalami masa keemasan.

Setelah menaklukan Madura beliau mengganti “panembahan” dengan “Sesuhunan (sunan) kemudian  menggunakan gelar “Susuhunan Hanyakrakusuma” terakhir tahun 1640 sehabis dari Makkah beliau menyandang gelar “Sultan Agung Senopati Ing Alaga Abdurrahman“ dan beliau memindahkan lokasi kraton ke “Karta “akibat terjadi gesekan penguasaan perdagangan antara Mataram dan VOC yang berpusat di Batavia.

Setelah Sultan Agung meninggal, digantikan putra beliau “Sesuhunan Amangkurat 1, beliau memindahkan lokasi kraton ke Pleret pada tahun 1647 tidak jauh dari “Karta”selain itu beliau juga tidak lagi menggunakan gelar sultan melainkan Sunan (Sesuhunan atau yang pertuan)   pada masa ini kerajaan Mataram kurang stabil karena banyak ketidak puasan dan pemberontakan, pada masanya terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh seorang bangsawan dari Madura bernama Trunajaya yang  akhirnya berhasil mengalahkan Mataram, Amangkurat 1 melarikan diri dan meningga dalam pelarianya yaitu di Tegalarum (1677) sehingga mendapat julukan Sunan Tegalarum, kemudian diganti oleh putranya Amangkurat II, beliau bergabung dengan VOC untuk mengalahkan  pasukan Trunajaya dan akhirnya berhasil .

Dalam masa ini Amangkurat II sangat patuh kepada VOC sehingga menimbulkan ketidak puasan dikalangan istana dan akhirnya banyak pemberontakan terjadi lagi. Pada masa ini keraton Mataram dipindahkan ke Kartasura ( 1680 ).

Setelah Amangkurat II meninggal diganti Amangkurat III, tetapi VOC tidak senang dengan Amangkurat III karena dia menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I sebagai raja, akibatnya Mataram memiliki dua raja dan inilah yang menjadikan perpecahan Internal, Amangkurat III akhirnya memberontak tapi akhirnya kalah dan ditangkap di Batavia lalu diasingkan di Ceylon, Srilanka.dan meninggal tahun 1734.

Kekacauan politik dari masa kemasa akhirnya dapat terselesaikan pada masa Pakubuana III  setelah wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Suarakarta  tanggal 13 Februari 1755, pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Gayanti, perjanjian Giyanti adalah kesepakatan yang dibuat oleh pihak VOC,  pihak Mataram (diwakili oleh Pakubuwana III) dan kelompok pangeran Mangkubumi. Nama Giyanti diambil dari lokasi penjanjian tersebut (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi didukuh Kerten, Desa Jantiharjo) ditenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah, perjanjian ini menandai berakhirnya kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Berdasarkan perrjanjian ini wilayah Mataram terbagi menjadi dua, wilayah disebelah timur kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram yaitu Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah disebelah barat diserahkan kepada  Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I yang berkedudukan di Yogyakarta.

Perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara (R.M Said) yang terlepas dari kesunanan Surakarta dan Pakualaman (P. Nata Kusuma), dan keempat pecahan Mataram Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti masing–masing, bahkan pecahan Mataram tersebut terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.

Ketika Mataram diperintah oleh Panangkaran (wangsa Sanjaya), datanglah dinasti Syailendra ke Jawa. Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul dinasti Syailendra ini. Dr. Majumdar, Nilakanta Sastri, dan Ir. Moens berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal dari India. Adapun Coedes berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal dari Funan.

Dinasti ini lalu berhasil mendesak wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng, Wonosobo, di wilayah Jawa Tengah bagian utara. Di sanalah wangsa Sanjaya kemudian memerintah. Sementara itu, dinasti Syailendra mendirikan Kerajaan Syailendra (Mataram Buddha) di wilayah sekitar Yogyakarta dan menguasai Jawa Tengah bagian selatan.

Sumber-sumber sejarah mengenai keberadaan dinasti Syailendra sebagai berikut.
1) Prasasti Kalasan (778 M)
2) Prasasti Kelurak (782 M)
3) Prasasti Ratu Boko (856 M)
4) Prasasti Nalanda (860 M)

Raja-raja dinasti Syailendra sebagai berikut.

1) Bhanu (752 – 775 M)
Bhanu berarti matahari. Ia adalah raja Syailendra yang pertama. Namanya disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan (752 M), dekat Salatiga.

2) Wisnu (775 – 782 M)
Nama Wisnu disebutkan dalam beberapa prasasti.

a) Prasasti Ligor B menyebutkan nama Wisnu yang dipersamakan dengan matahari, bulan, dan dewa Kama. Disebutkan pula gelar yang diberikan kepada Wisnu, yaitu Syailendravamsaprabhunigadata Sri Maharaja, artinya pembunuh musuh yang gagah berani.

b) Prasasti Kalasan (778 M) menyebutkan desakan dinasti Syailendra terhadap Panangkaran.

c) Prasasti Ratu Boko (778 M) menyebutkan nama Raja Dharmatunggasraya.

3) Indra (782 – 812 M)
Raja Indra mengeluarkan prasasti Kelurak (782 M) yang menyebutkan pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang mencakup Triratna (candi Lumbung), Vajradhatu (candi Sewu), dan Trimurti (candi Roro Jongrang). Setelah wafat, Raja Indra dimakamkan di candi Pawon. Nama lain candi ini adalah candi Brajanala atau Wrajanala. Wrajanala artinya petir yang menjadi senjata dewa Indra.

4) Samaratungga (812 – 832 M)
Raja ini adalah raja terakhir keturunan Syailendra yang memerintah di Mataram. Ia mengeluarkan prasasti Karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani. Disebutkan pula mengenai pendirian bangunan Jimalaya (candi Prambanan) oleh Pramodhawardhani.

Nama Samaratungga juga disebutkan dalam prasasti Nalanda (860 M) yang menceritakan pendirian biara di Nalanda pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India). Pada masa pemerintahannya, Samaratungga membangun candi Borobudur yang merupakan candi besar agama Buddha. Samaratungga kemudian digantikan oleh Rakai Pikatan, suami Pramodhawardhani yang berasal dari wangsa Sanjaya. Kembalilah kekuasaan wangsa Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya.


Rakai Pikatan sendiri mengeluarkan tiga prasasti berikut.

1) Prasasti Pereng (862 M), isinya mengenai penghormatan kepada Syiwa dan
penghormatan kepada Kumbhayoni.

2) Prasasti Code D 28, berangka tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau 778 Saka (856 M). Isinya adalah

(1) Jatiningrat (Pikatan) menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Lokapala (Kayuwangi dalam prasasti Kedu);
(2) Pikatan mendirikan bangunan Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud adalah candi Prambanan;
(3) kisah peperangan antara Walaputra (Balaputradewa) melawan Jatiningrat (Pikatan) di mana Walaputra kalah dan lari ke Ungaran (Ratu Boko).

3) Prasasti Ratu Boko, berisi kisah pendirian tiga lingga sebagai tanda kemenangan.
Ketiga lingga yang dimaksud adalah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai petapa berpakaian kulit harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan benteng Tripura yang dibuat raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa tertinggi atau paling berkuasa).

Sebagai raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun harus menghadapi wangsa Syailendra yang saat itu menjadi penguasa Mataram Buddha. Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik menikahi Pramodhawardhani, putri Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini memicu peperangan dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta Mataram sebagai putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan menyatukan kembali kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.

7) Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885 M)

Nama lain Sri Maharaja Kayuwangi adalah Lokapala. Ia mengeluarkan, antara lain, tiga prasasti berikut.

a) Prasasti Ngabean (879 M), ditemukan dekat Magelang. Prasasti ini terbuat dari tembaga.
b) Prasasti Surabaya, menyebutkan gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
c) Prasasti Argopuro (863 M), menyebutkan Rakai Pikatan pu Manuku berdampingan dengan nama Kayuwangi.

Dalam pemerintahannya, Kayuwangi dibantu oleh dewan penasihat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini diketuai seorang mahapatih.

8) Sri Maharaja Watuhumalang (894 – 898 M)

Masa pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya sampai masa pemerintahan Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya tidak ada yang bertahan lama. 

Di antara raja-raja yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah Balitung yang tercatat dalam prasasti Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang. Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885 – 887 M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut mungkin karena masa pemerintahannya terlalu singkat atau karena Balitung sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

9) Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 – 913 M)

Raja ini dikenal sebagai raja Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil mempersatukan kembali Mataram dan memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah sampai ke Jawa Timur. Dyah Balitung menggunakan beberapa nama:

a) Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan),
b) Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama),
c) Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu), dan
d) Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).

Prasasti-prasasti yang penting dari Balitung sebagai berikut.
a) Prasasti Penampihan di Kediri (898 M).
b) Prasasti Wonogiri (903 M).
c) Prasasti Mantyasih di Kedu (907 M).
d) Prasasti Djedung di Surabaya (910 M).

Sebenarnya, Balitung bukan pewaris takhta Kerajaan Mataram. Ia dapat naik takhta karena kegagahberaniannya dan karena perkawinannya dengan putri Raja Mataram. Selama masa pemerintahannya, Balitung sangat memerhatikan kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal mata pencaharian, yaitu bercocok tanam, sehingga rakyat sangat menghormatinya.

Tiga jabatan penting yang berlaku pada masa pemerintahan Balitung adalah Rakryan i Hino (pejabat tertinggi di bawah raja), Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan. Ketiga jabatan itu merupakan tritunggal dan terus dipakai hingga zaman Kerajaan Majapahit.

Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya.


Prasasti-prasasti Pennggalan Kerajaan Mataram Kuno

     Sebagai salahsatu kerajaan terbesar di Indonesia, mataram banyak sekali meninggalkan benda-benda bersejarah, termasuk juga prasasti. Dan berikut diantaranya..

1. Prasasti Canggal


     Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya) adalah prasasti berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini dipandang sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram Kuno.

2. Prasasti Kelurak


     Prasasti Kelurak berangka tahun 782 M dan ditemukan di dekat Candi Lumbung, Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan, Jawa Tengah. Keadaan prasasti Kelurak sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya kurang diketahui. Secara garis besar, isinya tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang dimaksud dengan bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian Prambanan. 

3. Prasasti Mantyasih


     Prasasti ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno. Dalam prasasti ini juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan Balitung sebagai desa perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (sekarang Gunung Sindoro danSumbing). Kata "Mantyasih" sendiri dapat diartikan "beriman dalam cinta kasih".

4. Prasasti Sojomerto


     Prasasti Sojomerto merupakan peninggalan Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun, berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

5. Prasasti Tri Tepusan

     Prasasti Tri Tepusan menyebutkan bahwa Sri Kahulunnan pada tahun 842 M menganugerahkan tanahnya di desa Tri Tepusan untuk pembuatan dan pemeliharaan tempat suci Kamulan I Bhumisambhara (kemungkinan besar nama dari candi Borobudur sekarang). Duplikat dari prasasti ini tersimpan di dalam museum candi Borobudur.

6. Prasasti Wanua Tengah III

     Prasasti ini ditemukan November 1983. Prasasti ini di sebuah ladang di Dukuh Kedunglo, Desa Gandulan, Kaloran, sekitar 4 km arah timur laut Kota Temanggung. Di dalam prasasti ini dicantumkan daftar lengkap dari raja-raja yang memerintah bumi Mataram pada masa sebelum pemerintahan raja Rake Watukara Dyah Balitung. Prasasti ini dianggap penting karena menyebutkan 12 nama raja Mataram, sehingga melengkapi penyebutan dalam Prasasti Mantyasih (atau nama lainnya Prasasti Tembaga Kedu) yang hanya menyebut 9 nama raja saja.

7. Prasasti Rukam

     Prasasti ini berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi, ditemukan pada 1975 di desa Petarongan, kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti ini terdiri atas dua lempeng tembaga yang berbentuk persegi panjang. Lempeng pertama berisi 28 baris dan lempeng kedua berisi 23 baris. Aksara dan bahasa yang digunakan adalah Jawa Kuna. 

     Isi prasasti adalah mengenai peresmian desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana karena desa tersebut telah dilanda bencana letusan gunung api. Kemudian penduduk desa Rukam diberi kewajiban untuk memelihara bangunan suci yang ada di Limwung. Mungkin bangunan suci tersebut adalah Candi Sajiwan, sebagaimana kata Sanjiwana tadi. Candi Sajiwan yang sering dilafalkan Sojiwan terletak tidak jauh dari Candi Prambanan.

8. Prasasti Plumpungan

wisatacandi.wordpress.com
     Prasasti ini ditemukan di Dukuh Plumpungan dan berangka tahun 750 Masehi. Prasasti ini dipercaya sebagai asal mula kota Salatiga. Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.

9. Prasasti Siwargrha


     Dalam prasasti ini tertulis chandrasengkala ”Wwalung gunung sang wiku” yang bermakna angka tahun 778 Saka (856 Masehi). Prasasti ini dikeluarkan oleh Dyah Lokapala (Rakai Kayuwangi) segera setelah berakhirnya pemerintahan Rakai Pikatan. Prasasti ini menyebutkan deskripsi kelompok candi agung yang dipersembahkan untuk dewa Siwa disebut Shivagrha(Sanskerta: rumah Siwa) yang cirinya sangat cocok dengan kelompok candi Prambanan.

10. Prasasti Gondosuli

yacob-ivan.com
     Prasasti ini ditemukan di reruntuhan Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah. Yang mengeluarkan adalah anak raja (pangeran) bernama Rakai Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai Garung.

     Prasasti Gandasuli terdiri dari dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang Glis) dan Gandasuli II (Sanghyang Wintang). Ia ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuna dengan aksara Kawi(Jawa Kuna), berangka tahun 792M. Teks prasasti Gandasuli II terdiri dari lima baris dan berisi tentang filsafat dan ungkapan kemerdekaan serta kejayaan Syailendra.

11. Prasasti Kayumwungan/Karang Tengah

anangpaser.wordpress.com
     Prasasti Kayumwungan adalah sebuah prasasti pada lima buah penggalan batu yang ditemukan di Dusun Karangtengah, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sehingga lebih dikenal juga dengan nama prasasti Karangtengah. Isi tulisan pada bagian berbahasa Sanskerta adalah tentang seorang raja bernama Samaratungga. Anaknya bernama Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya serta bangunan bernama Wenuwana (Sansekerta: Venuvana, yang berarti "hutan bambu") untuk menempatkan abu jenazah 'raja mega', sebutan untuk Dewa Indra. Mungkin yang dimaksud adalah raja Indra atauDharanindra dari keluarga Sailendra.

12. Prasasti Sankhara

hurahura.wordpress.com
     Prasasti Raja Sankhara adalah prasasti yang berasal dari abad ke-8 masehi yang ditemukan di Sragen, Jawa Tengah. Prasasti ini kini hilang tidak diketahui di mana keberadaannya. Prasasti ini pernah disimpan oleh museum pribadi, Museum Adam Malik, namun diduga ketika museum ini ditutup dan bangkrut pada tahun 2005 atau 2006, koleksi-koleksi museum ini dijual begitu saja. Dalam prasasti itu disebutkan seorang tokoh bernama Raja Sankhara berpindah agama karena agama Siwa yang dianut adalah agama yang ditakuti banyak orang. Raja Sankhara pindah agama ke Buddha karena di situ disebutkan sebagai agama yang welas asih. Sebelumnya disebutkan ayah Raja Sankhara, wafat karena sakit selama 8 hari. Karena itulah Sankhara karena takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar, kemudian meninggalkan agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur. Di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia disebutkan bahwa raja Sankhara disamakan dengan Rakai Panangkaran, sedangkan ayah Raja Sankhara yang dalam prasasti ini tidak disebutkan namanya, disamakan dengan raja Sanjaya.

13. Prasasti Ngadoman


     Prasasti Ngadoman ditemukan di desa Ngadoman, dekat Salatiga, Jawa Tengah. Prasasti ini penting karena kemungkinan besar merupakan perantara antara aksara Kawi dengan aksara Buda.

14. Prasasti Kalasan


     Prasasti Kalasan adalah prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno yang berangka tahun 700 Saka atau 778M. Prasasti yang ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta, ini ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja berhasil membujuk Maharaja Tejahpura Panangkarana (Kariyana Panangkara) yang merupakan mustika keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka) atas permintaan keluarga Syailendra, untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sanggha (umat Buddha). Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan.

Kehidupan Politik Di Kerajaan Mataram.


Kehidupan Politik
Kerajaan Mataram diperintah oleh dua dinasti atau wangsa yaitu wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa dan wangsa Syaelendra yang beragama Budha. Pada awalnya mungkin yang berkuasa adalah wangsa Sanjaya, hal ini sesuai dengan prasasti Canggal. Tetapi setelah perkembangan berikutnya muncul keluarga Syaelendra. Menurut para ahli, keluarga Sanjaya terdesak oleh Keluarga Syaelendra, tetapi mengenai pergeseran kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, yang jelas kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah dan memiliki hubungan yang erat, hal ini sesuai dengan prasasti Kalasan. Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syaelendra seperti yang tertera dalam prasasti Ligor, Nalanda maupun Klurak adalahBhanu, Wisnu, Indra, dan Samaratungga atau Samaragrawira. Sedangkan raja-raja dari dinasti Sanjaya yang tertera dalam prasasti Mantyasih.
Berdasarkan candi-candi peninggalan kerajaan Mataram yang berasal dari abad 8-9 yang bercorak Hindu yang terletak di Jateng bagian utara dan yang bercorak Budha terletak di Jateng selatan , untuk itu dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan dinasti Sanjaya di Jateng bagian utara, dan kekuasaan dinasti Syaelendra di Jateng selatan. Kedua dinasti tersebut akhirnya bersatu dengan adanya pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramudyawardani yang bergelar Sri Kahulunan. Pramudyawardani tersebut adalah putri dari Samaratungga. Raja Samaratungga selain mempunyai putri Pramudyawardani , juga mempunyai putera yaitu Balaputradewa (karena Samaratungga menikah dengan keturunan raja Sriwijaya). Kegagalan Balaputradewa merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, maka menyingkir ke Sumatera menjadi raja Sriwijaya. Untuk selanjutnya pemerintahan kerajaan Mataram dikuasai oleh dinasti Sanjaya dengan rajanya yang terakhir yaitu Wawa. Pada masa pemerintahan Wawa sekitar abad 10, Mataram di Jateng mengalami kemunduran dan pusat penerintahan dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sendok. Dengan adanya perpindahan kekuasaan dari Jateng ke Jatim oleh Mpu Sendok, maka Mpu Sendok mendirikan dinasti baru yaitu dinasti Isyana dengan kerajaannya adalah Medang Mataram. Berdasarkan prasasti Calcuta, maka silsilah raja-raja yang memerintah di kerajaan Medang Mataram dapat diketahui. Untuk mengetahui silsilah tersebut, simaklah bagan berikut ini!
Dari bagan silsilah raja-raja Medang di atas, maka yang diberi tanda itulah raja-raja yang memerintah. Pada tahun 1017 M kerajaan Medang pada masa Dharmawangsa mengalami pralaya/kehancuran akibat serangan dariWurawari dan yang berhasil meloloskan diri dari serangan tersebut adalahAirlangga. Tahun 1023 Airlangga dinobatkan oleh pendeta Budha dan Brahmana (pendeta Hindu) menjadi raja Medang menggantikan Dharmawangsa. Pada awal pemerintahannya Airlangga berusaha menyatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, dan melakukan pembangunan di dalam negeri dengan memindahkan ibukota kerajaan Medang dari Wutan Mas ke Kahuripan tahun 1031, serta memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, dan membangun bendungan WringinSapta. Dengan demikian usaha-usaha yang dilakukan oleh Airlangga mendatangkan keamanan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Tetapi kemudian tahun 1041 Airlangga mundur dari tahtanya dan memerintahkan untuk membagi kekuasaan menjadi 2 kerajaan. Kedua kerajaan tersebut adalah Jenggala dan Panjalu. Pada awalnya pembagian kerajaan tersebut dalam rangka menghindari perebutan kekuasaan diantara putera-putera Airlangga. Tetapi ternyata hal ini yang menjadi penyebab kerajaan Medang mengalami kehancuran.
Kehidupan Ekonomi
Berdasarkan bangunan candi yang ada, baik yang bercorak Hindu maupun Budha jumlah cukup banyak dan tempat atau lokasinyapun ada yang berdampingan, maka hal ini membuktikan bahwa kehidupan sosial masyarakat Mataram sangat religius dan dilandasi oleh rasa gotong royong yang baik, dan juga mempunyai rasa toleransi antara pemeluk agama Hindu dan pemeluk agama Budha itu sendiri. Dalam lapangan ekonomi, kerajaan Mataram mengembangkan perekonomian agraris karena letaknya di pedalaman dan daerah yang subur tetapi pada perkembangan berikutnya, Mataram mulai mengembangkan kehidupan pelayaran, hal ini terjadi pada masa pemerintahan Balitung yang memanfaatkan sungai Bengawan Solo sebagai lalu lintas perdagangan menuju pantai utara Jawa Timur. Dengan adanya pengembangan perekonomian, maka timbul dugaan bahwa dipindahkannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur karena alasan tersebut.
Share on Google Plus

About BanuIslam

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar