I. Riwayat Hidup Ibnu Sina
Ibnu Sina dalam sejarah pemikiran Islam dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir tahun 900 M. Ayahnya bernama Abdullah bersal dari balkh, suatu kota yang termahsyur dikalangan orang-orang Yunani dengan nama Bakhtra yang mengandung arti cemerlang. Hal ini sesuai dengan peran yang pernah dimainkan kota tersebut, yaitu selain sebagai pusat kegiatan politik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.[1]
Sebagai tempat kedudukan raja-raja Yunani, Balkh atau Bakhtra selain memainkan peranan sebagaimana disebutkan di atas, juga pada periode tertentu pernah menjadi pusat peradaban Yunani (Helenic), dan setelah kedudukannya itu ia termasuk orang Persia atau orang Turki. Upaya perebutan untuk menetapkan dari daerah mana Ibnu Sina berasal itu di atas terjadi di belakang hari, yaitu setelah diketahui kehebatan Ibnu Sina sebagai salah seorang intelektual Muslim kelas dunia.
Tampilnya Ibnu Sina sebagai sosok intelektual Muslim kelas dunia itu erat kaitannya dengan latar belakang pendidikan dan kecerdasannya. Sejarah mencatat bahwa Ibnu Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di Bukhara kota kelahirannya. Pelajaran yang pertama kali ia pelajari adalah membaca Al-Qur’an. Setelah itu ia lanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, Ibnu Sina mampu menghafal Al-Qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun itu.
Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mengajari Ibnu Sina adalah Mahmud al-Massah yang dikenal sebagai ahli matematika India dan juga seorang pengikut ajaran Isma’iliyah.
Kemudian terdapat pula nama Abi Muhammad Isma’il Ibn al-Husayni yang kemudian dikenal dengan nama al-zahid dan termasyhur sebagai salah seorang ahli fiqh bermazhab Hanafi di Bukhara pada saat itu, Ibnu Sina belajar ilmu fiqh. Kemudian ilmu manthiq dan falsafah Ibnu Sina berguru kepada Abi’Abdillah al-Natili. Menurut keterangan Ibnu Sina mempelajari kitab Isago dalam bidang manthiq, kemudian dilanjutkan mempelajari permasalahan yang terdapat dalam kitab Aklides dan kitab al-Majesthi.[2]
Selanjutnya dengan cara otodidak Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal demikian didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitiannya dan praktek pengobatan. Berkenan dengan ini sebagian para penerjemah menduga bahwa Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali Abi Sahl al-Masihy dan Abi Mansur al-Hasan Ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara demikian ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teoritis dan praktis. Hal ini termasuk salah satu keistimewaan zaman keemasan Islam, yakni antara ilmu falsafah yang bersifat teoritis dengan ilmu kedokteran yang bersifat praktis tercapai suatu hubungan yang harmonis.
Pelajaran lain yang diperdalam oleh Ibnu Sina secara otodidak adalah falsafah dengan berbagai cabangnya. Dalam bidang ini, Ibnu Sina nampak lebih mencurahkan perhatiannya dibandingkan dengan lainnya. Hal ini antara lain diperlihatkan oleh dirinya yang tak pernah tidur secara sempurna, karena ia senantiasa terbenam dalam kegiatan membaca dan menulissepanjang malam. Dan jika ia diserang kantuk ia segera mengalihkan perhatian pada minuman-minuman yang mengandung ramuan yang dapat membangkitkan daya tahan tubuhnya.
Dalam mempelajari bidang filsafat tersebut, Ibnu Sina mengakui al-Farabi sebagai gurunya. Karena ia mempelajari kitab-kitab karangan al-Farabi, khususnya kitab yang berjudul Aghrad Ma ba’da al-Tabi’ah (Tujuan Mempelajari Metafisika). IbnuSina mengaku pernah memahami falsafah ketuhanan berkali-kali, namun semua itu tidak menghasilkan apa-apa, kecuali setelah membaca karangan al-Farabi. Itulah sebabnya ia mengaku al-Farabi sebagai gurunya, walaupun ia tidak pernah belajar langsung darinya. Hasil bacaannya terhadap karangan al-Farabi itu telah mempengaruhi garis pemikiran falsafahnya, karena pengaruh al-Farabi melalui keterangan filsafatnya yang demikian, filsafat menjadi jelas, khususnya dalam memperlihatkan unsur Neo-Platonisme dengan kitab-kitab Aristoteles.
Setelah Ibnu Sina belajar berbagai ilmu pada beberapa ilmuan sebagaimana disebut di atas, ia juga ndisebutkan berjumpa dengan sebagian besar ulama terkenal pada zamannya, seperti Ibnu Maskawaih, Abu al-Raihan, al-Biruni, Abu Qasim al-Kirmany, seorang tabib yang bernama Abu al-Fajr dan lainnya. Namun demikian tidak disebutkan ilmu-ilmu apa saja yang dipelajari Ibnu Sina beberapa ilmuan tersebut. Informasi lain menyebutkan bahwa Ibnu Sina pernah juga belajar kepada seorang ilmuan kenamaan, Abu Bakar al Khawarizmi, dan ia telah membantu gurunya itu dalam menuliska sebagian bukunya yang berjudul Dewan.[3]
Tidak hanya dalam bidang filsafat dan ilmu agama saja, ilmu politikpun dipelajari oleh Ibnu Sina sejak dini dari ayahnya, yaitu ketika ia selalu disuruh ayahnya untuk mendengarkan berbagai uraian mengenai politik. Tentang keterlibatan ayahnya dalam bidang politik, khususnya politik Syi’ah Isma’iliyah diceritakan oleh Ibnu Sina sebagai berikut: “Aku sering mendengarkan perbincangan ayahku dengan salah seorang propagandis yang menganut Syi’ah Isma’iliyah dari mesir. Aku mengetahui pendirian mereka, tetapi jiwaku tidak mau menerimanya.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa Ibnu Sina, sungguhpun pernah berhubungan dengan penganut Syi’ah, namun ia bukanlah penganut aliran tersebut.
Pendalaman dan penguasaan Ibnu Sina terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dilanjutkan ketika ia memperoleh kesempatan untuk mempergunakan perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang saat itu menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa Ibnu Sina yang berhasil mengobati penyakit tersebut hingga subuh. Dengan menenggelamkan diri membaca buku-buku yang terdapat di perpustakaan tersebut, Ibnu Sina berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan.
Pekerjaan pertama yang ia lakukan adalah membantu tugas-tugas pangeran Nuh bin Mansyur, sebagaimana halnya dilakukan orang tuanya dulu. Pekerjaan yang ia lakukan sejalan dengan keahliannya sebagai ilmuan. Misalnya ia diminta untuk menyusun buku kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain al-Arudy. Untuk ini Ibnu Sina menulis buku yang berjudul al-majmu’. Selain ilmu al-Riyadiyat. Selanjutnya ia menulis buku yang berjudul al-Hashil wa al-Mahshul dan al-Birr wa al-Islam atas perintah Abu Bakar al-Barqy al-Hawarizmy.
Ketika Ibnu Sina berusia 20 tahun, ayahnya meninggal dunia, dan dalam tubuh kerajaan Samani mulai timbul kemelut politik. Dua orang putra kerajaan yang bernama Mansyur dan Abdul Malik saling berebut kekuasaan. Peristiwa yang berlangsung satu tahun tujuh bulan ini berakhir dengan kemenangan dipihak Abdul Malik. Selanjutnya dalam suasana yang masih kacau dan belum stabil itu datang pula serbuan dari kesultanan Mahmud yang berpusat di Bukhara jatuh ke tangan penyerbu itu.
Di dalam bukunya Abuddin Nata diceritakan adanya perpindahan dinasti Samani kepada dinasti Ghaznawi di daerah Bukhara itu telah memberikan keuntungan kepada Ibnu Sina, karena selain hilangnya fitnah yang pernah dijatuhkan Sultan Samani atas dirinya, yaitu tuduhan sebagai pembakar perpustakaan. Mahmud al ghaznawi dikenal sangat kuat berpegang kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah, dan Ibnu Sina khawatir jika prinsip itu diterapkan dalam pemerintahan di Bukhara. Ibnu Sina segera memutuskan untuk meninggalkan Bukhara sebelum Sultan tersebut menerap sistem kekuasaannya di daerah tersebut.
Daerah yang dituju kepergian Ibnu Sina itu adalah Karkang yang pada saat itu termasuk Ibu kota al-Khawarizm. Dan ia langsung melapor kepada rajanya yang bernama Ali bin Ma’mun. Di kota inilah Ibnu Sina berkenalan dengan para pakar ilmu pengetahuan rasional seperti Abu al-Khair al-Khamar, Abu Sahl ‘Isa bin yahya al-Masihy al-Jurjany, Abu al-Rahyan al-Biruny, dan Abu Nashr al-‘Iraqy. Dalam pada masa itu Syam al-Daulah salah seorang putera dari al-Sayyidah juga menderita sakit, dan dia juga meminta Ibnu Sina agar bersedia mengobatinya. Momentum ini dimanfaatkan sebaik-baik mungkin oleh Ibnu Sina untuk lebih mendekatkan diri dengann penguasa. Dan masih banyak yang dikerjakan Ibnu Sina dalam memperbaiki situasi dalam berbagai macam bidang seperti: politik, sosial, ekonomi, dan perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan serta kehidupan beragama.
II. Dasar-dasar Pemikiran Ibnu Sina
A. Konsep Ibnu Sina Mengenai Manusia
Pembahasan mengenai manusia yang biasanya terintegrasi dengan pembahasan mengenai jiwa telah menjadi salah satu kegemaran para filosof Muslim, termasuk Ibnu Sina. Pembahasan Ibnu Sina mengenai manusia dalam hubungannya dengan jiwa ini dapat ditelusuri karya tulisnya seperti kitab al-Syifa’ dan al-Najah.[4]
Dalam hubungan dengan jiwa, Ibnu Sina pernah mengatakan “barang siapa yang ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan sempurna mengenai pandangan tentang jiwa ini hendaknya ia menelaah seluruh karya tulis yang saya susun sejak dari usia muda hingga saya wafat”. Pernyataan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa perhatian Ibnu Sina terhadap jiwa sangat besar. Pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa ini sebagaimana nanti akan dijelaskan banyak dijadikan dasar bagi perumusan konsep manusia dan sekaligus digunakan untuk menentukan potret manusia yang akan dibentuk melalui pendidikan.
Berkenaan dengan pembahaan jiwa ini Ibnu Sina menguraikan mengenai berbagai daya yang dimiliki oleh jiwa serta tahap-tahap yang mesti dilalui dalam rangka memperoleh kesempurnaan. Jiwa ini berhubungan dengan unsur jasmani dan mengacu kepada daya yang berbuat atas dasar ketundukan semata-mata. Selanjutnya pada jiwa binatang terdapat dua daya, yaitu daya gerak dan menangkap. Daya menangkap ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu daya menangkap dari luar dengan bantuan panca indera dan daya menangkap dari dalam dengan bantuan indera-indera yang terdiri dari empat macam, yaitu:
1. Indera bersama (al-hiss al-mutkhayyilah = commor sense)yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
2. Refresentasi (al quwwah al-mutakhayyilah = imagination) yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi.
3. Estimasi (al-quwah al-wahmiyah = imagination), yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya seperti keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala.
4. Rekoleksi (al-quwwah al-hafidzah = recollection) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi[5].
Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa daya yang terdapat pada jiwa binatang ini berbeda dengan daya yang terdapat pada jiwa tumbuh-tumbuhan. Daya seperti ini dalam teks Arabnya Artinya: “Jiwa binatang adalah nama bagi daya yang berbuat atas ke inginan dan pilihan”.
Daya yang terdapat pada jiwa binatang dapat menyempurnakan daya yang terdapat pada jasad sehingga memiliki kemampuan melaksanakan fungsi-fungsi psikologisnya dengan baik. Selanjutnya Ibnu Sina menguraikan mengenai jiwa manusia. Menurutnya jiwa manusia ini memiliki dua daya yaitu:
1. Daya praktis (al-‘alimah atau al-nadzariyah) yang ada hubungannya dengan hal-hal yang bersifat abstrak.
2. Daya teoritis (berfikir)ini kemudian dibedakan menjadi: akal material (al-‘aql al-hayulany),yaitu akal yang baru memiliki potensi untuk berfikir namun belum di latih sedikitpun mengenai kemampuan berfikirnya itu
Ketiga macam jiwa tersebut, yakni jiwa tumbu-tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia dengan seluruh daya yang dimilikinya terdapat pada manusia. Dengan kata lain bahwa pada diri manusia itu selain terdapat jiwa manusia juga terdapat jiwa tumbu-tumbuhan dan jiwa binatang dengan segala daya yang dimilikinya. Selanjutnya Ibnu Sina mengatakan bahwa ketiga macam jiwa tersebut dapat berpengaruh pada diri manusia, jika jiwa tumbu-tumbuhan yang berpengaruh pada diri manusia, maka manusia tersebut tabi’atnya seperti tumbu-tumbuhan yang hanya hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak, tetapi tidak memiliki kehendak dan kemauan serta tidak memiliki kehendak untuk bekerja dan berfikir.
Selanjutnya jika jiwa binatang yang mempengaruhi diri manusia, maka manusia tersebut dapat menyerupai binatang. Dalam arti tidak dapat memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak dan tidak pula dapat menerima limpahan ilmu dari tuhan. Selain itu Ibnu Sina juga menganut prinsip bahwa manusia itu secara fitrah memiliki tabi’at yang netral,yakni tidak baik dan tidak buruk. Manusia dapat berubah menjadi baik atau buruk tergantung pada lingkungan yang mempengaruhinya.[6]
B. Konsep Ibnu Sina Mengenai Masyarakat
Menurut Ibnu Sina bahwa dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia sebagai ciptaan Tuhan tidak mungkin dapat hidup menyendiri. Ia membutuhkan peranan orang lain yang dapat membantu memenuhi kebutuhan hidupnya itu. Orang lain yang mereka harapkan bantuannya itu berada di masyarakat. Dari keadaan ini, dan ia mau tidak mau harus hidup di tengah-tengah masyarakat, yang membedakan manusia dengan binatang, manusia tidak bisa hidup menyendiri. Menurut Ibnu Sina bahwa kelangsungan hidup seseorang mesti di dukung oleh orang lain.
Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah SWT. Menciptakan manusia dalam keadaan yang tidak sanggup hidup seorang diri atau hidup dengan sendirinya. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.(QS. Al-Maidah: 2).
Lebih lanjut Ibnu Sina mengemukakan teori tentang adanya perbedaan lapisan dan tingkatan hidup dalam masyarakat. Perbedaan ini tercipta karena adanya dasar perbedaan yang dimiliki manusia sejak lahir. Manusia memiliki perbedaan dari segi intelektual, harta benda, bakat dan kecendrungan. Selanjutnya Ibnu Sina mengatakan bahwa manusia juga memiliki perbedaan tingkatan dalam kecendrungan, anugerah dan kekuatannya. Keberadaan manusia dan kelangsungan hidupnya mesti bekerja sama dan menjalin kesatuan dengan sesamanya.
Selanjutnya Ibnu Sina mengatakan bahwa setiap masyarakat memerlukan undang-undang yang mengatur urusannya. Undang-undang ini harus diciptakan oleh orang-orang yang memiliki keunggulan yang lebih dari manusia lainnya.
Uraian tersebut menunjukan bahwa kelangsungan hidup suatu masyarakat memerlukan adanya pengatur yang memiliki keunggulan komperatif dan kekuatan luar biasa yang dapat menjadi faktor pendukung dalam melaksanakan tugasnya itu. Pengatur tersebut adalah seorang Nabi. Dengan adanya pengatur yang demikian itu, masyarakat akan mematuhi dan memegang teguh ajaran-ajaran yang disampaikannya dengan rela. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan suasana damai dalam masyarakat. Mengenai posisi Nabi dalam hubungannya dengan kepemimpinan di masyarakat itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa pemimpin masyarakat yang memiliki kualitas seperti Nabi itu adalah merupakan dasar syari’at atau tempat kembali segala masalah kemasyarakatan. Nabi bertugas mengatur segala urusan masyarakat sesuai dengan kehendak Allah dan wahyu-Nya.
Dengan demikian seorang nabi harus membiasakan perbuatan yang baik kepada manusia dan mengingatnya agar senantiasa memutuhi ajaran Tuhan. Selain itu fungsi seorang Nabi tidak hanya sebagai pengatur bidang sosial dan ibadah saja, melainkan juga mengatur urusan masyarakat, mulai dari yang bersifat ringan, dan sederhana, sampai dengan yang bersifat berat dan rumit. Khususnya mengenai bidang ibadah, Ibnu Sina menyebutkan seperti shalat, puasa, zakat, haji dan jihad di jalan Allah. Tugas lain seorang Nabi adalah menyangkut bidang pengaturan keluar masuk keuangan Negara secara baik dan benar.
C. Kosep Ibnu Sina Mengenai Ilmu Pengetahuan
Mengenai ilmu pengetahuan menurut pandangan Ibnu Sina akan berpijak pada tiga aspek ilmu pengetahaun tersebut, yaitu aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Ibnu Sina secara konsisten memulai pembahasannya dalam bidang ilmu pengetahuan bertolak dari pandangannya mengenai daya-daya yang dimiliki oleh manusia. Yaitu daya jasmani, daya berfikir (akal) dan daya rohani yang tertinggi (al-tadats). Persoalan selanjutnya adalah: apakah yang dimaksud dengan al-quwwah al-nazariah ( Akal) itu ?
Terhadap persoalan-persoalan tersebut di atas, Ibnu Sina memulai jawabannya dengan mengatakan bahwa al-nazariah (Akal) itu bersifat fitri, yakni merupakan anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada manusia.
Tahap pertama daya nazariah (akal) itu tidak memiliki sedikitpun pengetahuan, seperti keadaan yang terdapat pada anak kecil. Tahap kedua nazariah itu mulai terbentuk dan tumbuh untuk siap menerima pengetahuan, yaitu ketika seseorang mulai sampai pada tahap tamyiz (mampu membedakan antara yang salah dan yang benar). Tahap ketiga, terjadi ketika daya al-nazariah itu telah memberikan dalam ingatan (al-zihn) manusia, tetapi ia masih lupa padanya. Untuk itu dapat diwujudkan ketika ia menghendaki. Akal serupa ini dinamai akal al-fi’l, yaitu akal yang telah dapat berfikir mengenai hal-hal yang abstrak.
Para ahli yang meneliti konsep pengetahuan Ibnu Sina umumnya mengatakan bahwa karya Ibnu Sina bahwa yang membicarakan panjang lebar mengenai falsafah pengetahuan adalah al-Syifa’. Sesuai dengan keahliannya, dibidang falsafah, Ibnu Sina membagi ilmu pengetahuan melalui paradigma filosofis. Menurutnya ilmu pengetahuan itu induknya adalah filsafah. Mengetahui benda-benda yang wujudnya tidak bergantung kepada kemauan manusia itu disebut filsafat teoritis, sedangkan bagian kedua disebut filsafat praktis.
Menurut Ibnu Sina bahwa filsafat teoritis itu bertujuan untuk menyempurnakan jiwa (al-nafs) dengan mengetahui. Sedangkan filsafah praktis tujuannya bukan sekedar menyempurnakan jiwa dengan pengetahuan, tetapi melakukan perbuatan yang sesuai dengan kehendak pengetahuan itu. Ibnu Sina membagi filsafah menjadi tiga macam ilmu yaitu:
1. Ilmu tabi’i yang disebut ilmu yang paling bawah.
2. Ilmu matematika yang disebut ilmu pertengahan.
3. Ilmu ketuhanan , yang disebut sebagai ilmu yang paling tinggi, dilihat dari segi kebenarannya dari materi.[7]
Filsafat praktis juga terbagi kepada tiga ilmu, yaitu:
1. Ilmu akhlak yang mengkaji tentang cara-cara mengatur tingkah laku manusia dan kesucian dirinya.
2. Ilmu mengatur rumah tangga, yang mengkaji hubungan antara suami dan istrinya, anak-anaknya dan pembantu-pembantunya, kemudian juga mengkaji tentang masalah pengaturan nafkah dalam kehidupan rumah tangga.
3. Ilmu politik yang mengkaji tentang bagaimana sepatutnya hubungan-hubungan masyarakat dalam suatu kota, hubungan antara berbagai kota, dan hubungan berbagai Negara. Juga mengkaji tentang berbagai jenis politik, kepemimpinan dan masyarakat yang luhur dan hina dina.
Selanjutnya Ibnu Sina mengatakan bahwa semua cabang dari filsafah praktis tersebut baru terlaksana apabila didasarkan pada pemikiran akal dan petunjuk syari’at.
D. Konsep Ibnu Sina Mengenai Akhlak
Ibnu Sina berpendapat bahwa akhlak adalah kecakapan dalam bentuk perbuatan yang timbul dari dorongan jiwa yang dilakukan dengan mudah, tanpa didahului oleh pemikiran dan perbuatan. Konsep Ibnu Sina mengenai akhlak ini nampak sejalan dengan ketentuan pembinaan akhlak yang terdapat dalam tradisi Islam, yaitu tradisi yang mengarahkan.
Uraian Ibnu Sina mengenai akhlak yang terpuji dan tercela dalam hubungannya dengan unsur kejiwaan yang ada pada diri manusia itu hamper sejalan dengan pandangan al-Ghazali (1059-1111 M). Menurut al-Ghazali, induk segala akhlak yang baik itu ada empat, yaitu: bijaksana (himah), keberanian (syajalah), memelihara diri dari maksiat (‘iffah), dan keadilan (‘adl).[8]
Selanjutnya perlu juga dikemukakan di sini bahwa pembahasan akhlak yang mulia dalam pemikiran Ibnu Sina ini juga erat kaitannya dengan konsep manusia yang utama (insan al-kamil). Dengan cara demikian, akan muncullah manusia-manusia yang berbudi pekerti mulia dan berkepribadian mulia. Dari cara berfikir yang demikian terlihat dengan jelas adanya hubungan substansial antara konsep Ibnu Sina mengenai akhlak dengan rumasan tujuanpendidikan. Dengan kata lain bahwa rumusan Ibnu Sina mengenai akhlak dapat dijadikan dasar pemikiran bagi perumusan konsep tujuan pendidikan.
Ibnu Sina memberikan penjelasan mengenai bermacam-macam akhlak yang terpuji dan tercela itu sebagai berikut:
1. Akhlak yang terpuji (al-Akhlak al-Mahmudah)
Menurut Ibnu Sina sangat banyak sekali aspek-aspek akhlak terpuji yang harus dijelaskan dalam uraian ini, akan tetapi hanya menjelaskan sekilas tentang akhlak terpuji tersebut. Menurut Ibnu Sina akhlak terpuji dan mulia itu harus dapat menghiasi diri seseorang, sehingga ia tampil menjadi manusia utama (insa kamil). Perbuatan itu harus dibiasakan sehingga menjadi akhlak yang tercermin dalam setiap ucapan dan perbuatan.
Selain itu, Ibnu Sina juga sangat menekankan pentingnya akhlak yang dapat mendorong seseorang menjadi manusia yang maju, dinamis, kreatif, berilmu pengetahuan, bercita-cita tinggi dan penuh percaya diri. Dengan demikian pandangan akhlak yang baik dalam pemikiran Ibnu Sina nampak lebih dilihat dalam perspektif pendidikan. Yaitu suatu model manusia yang memiliki peranan yang aktif di masyarakat melalui pembinaan kepribadian secara utuh.
2. Akhlak yang Tercela (al-Akhlaq al-Madzmumah)
Akhlak yang tercela itu antara lain: sikap ingin dipuji (al-hamd), sikap dengki (al-haqd), terlalu cepat menjatuhkan keputusan tanpa perasaan kasih saying (al-‘ajalah), suka mencela, berkata keji, suka memfitnah, mengadu domba, mengada-ada, berkata dusta, keluh kesah, berpandangan sempit, langkah sempit, membuka rahasia tanpa tanpa memperhatikan kasih sayang, bersikap bodoh.
3. Metode Pembentukan Manusia Utama (insan kamil)
Manusia yang utama (insan kamil) adalah manusia yang daya nalarnya mengalahkan daya amarah dan syahwatnya. Dalam arti dapat mengarahkan daya amarah dan syahwatnya itu sesuai dengan akal pikiran dan petunjuk agama. Dengan cara itulah seseorang dapat meningkat menjadi manusia utama. Demikian pula mengenai keadaan seseorang menghukum dirinya sendiri jika berbuat menyimpang dari jalan yang lurus, atau memberi pujian kepada dirinya yang berbuat baik adalah merupakan cara pembentukan akhlak yang benar-benar adil, jujur, dan konsisten.
4. Sifat dan Kedudukan Akhlak
Ibnu Sina mengatakan bahwa akhlak tersebut harus diusahakan dari sejak manusia itu dilahirkan sehingga dewasa, karena sesuatu yang dibiasakan sejak kecil sangat mempengaruhi tabi’at seseorang dikemudian hari. Untuk ini faktor-faktor yang mempengaruhi anak tersebut perlu diperhatikan, seperti orang yang menyusuinya, faktor akhlak dan kepribadian guru yang mendidiknya, akhlak rekan-rekannya di perpustakaan atau di tempat ia belajar, bermain dan lain-lain.
III. Konsep Pendidikan Ibnu Sina
Sebagai suatu sistem, pendidikan memiliki berbagai aspek yang antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode guru, hukuman dan lingkungan. Pada bagian ini akan dikemukakan konsep pendidikan Ibnu Sina yang ruang lingkupnya dibatasi pada aspek tujuan pendidikan, kurikulum, guru yang baik, metode pengajaran, dan pelaksanaan pada aspek-aspek tersebut, didasarkan pada pemikiran pendidikan yang terdapat pada Ibnu Sina itu sendiri.
A. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan adalah mengarahkan pertumbuhan individu baik dari segi jasmani maupun rohaninya secara sempurna. Selain itu, menurutnya bahwa pendidikan juga bertujuan mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat dan berinteraksi dengannya melalui pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya. Untuk itu lingkup kependidikan dalam pandangan Ibnu Sina meliputi bidang pembinaan, jasmani melalui olah raga, melatih makan, minum dan sebagainya secara teratur dan menjaga. Dan rohani dengan kata lain tujuannya lebih mengarah kepada mencerdaskan akal serta semua unsur yang terkait di dalamnya.
B. Kurikulum
Ibnu Sina melihat kurikulum lebih merupakan rancangan pengajaran, sebagai unsur terpenting dalam kurikulum itu sendiri. Rancangan pengajaran ini ia hubungkan dengan tingkat usia anak didik yang akan merima pelajaran tersebut. Untuk ini Ibnu Sina membagi kurikulum kedalam tingkatan usia sebagai berikut:
1. Kurikulum Untuk Usia Anak 3 sampai 5 tahun
Ibnu Sina berpendapat bahwa seorang anak yang berada dalam usia 3 sampai 5 tahun harus diajarkan ilmu-ilmu yang sejalan dengan pertumbuhan panca indra, gerak badan, budi pekerti dan perasaan. Pelajaran gerak badan atau olah raga tersebut diarahkan untukmembina pertumbuhan fisiknya, sedangkan pendidikan budi pekerti diarahkan untuk membiasakan si anak agar memiliki sopan santun dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.
2. Kurikulum Untuk Usia Anak 6 sampai 14 tahun.
Kurikulum untuk anak usia 6 sampai 14 tahun atau usia sekolah dasar ini menurut Ibnu Sina terdiri dari: 1) Pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an, 2) Pelajaran agama, 3) Pelajaran bahasa Arab, 4) Pelajaran sya’ir, dan 5) Pelajaran agama.
3. Kurikulum Untuk Anak Usia 14 tahun Ke Atas
Berkenaan dengan kurikulum untuk anak usia 14 tahun ke atas ini, Ibnu Sina mengatakan sebagai berikut:
“Jika seorang anak telah selesai mempelajari Al-Qur’an dan menghafal dasar-dasar bahasa, maka segera dipikirkan tertang keahlian yang akan ditekuninya. Guru menunjukan pula cara untuk menempuh keahlian tersebut, setelah mempertimbangkan dengan matang tentang keahlian yang sesuai dengan bakal minatnya”
4. Mata Pelajaran dalam Kurikulum
Ibnu Sina selanjutnya membagi pelajaran kepada yang bersifat teoritis dan pelajaran yang bersifat praktis atau pengetahuan terapan.
a. Mata Pelajaran Yang Bersifat Teoritis
Menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang bersifat teoritis dapat di bagi tiga lagi yaitu:
1) Ilmu tabi’i yang dikatagorikan sebagai ilmu yang berada pada urutan yang di bawah.
2) Ilmu matematika yang ditempatkan pada urutan pertengahan
3) Ilmu ketuhanan yang ditempatkan sebagai urutan yang paling tinggi[9]
b. Mata Pelajaran yang Bersifat Praktis
Mata pelajaran yang bersifat praktis itu terbagi kepada tiga bagian. Bagian pertama terdiri dari ilmu yang bertujuan membentuk akhlak dan perbuatan manusia yang mulia, sehingga dapat mengantarkan kepada kebahagiaannya hidup di dunia dan akhirat. Bagian kedua terdiri dari ilmu yang berupaya menjelaskan tentang tata cara mengatur kehidupan rumah tangga serta pola hubungan yang baik antara suami istri, orang tua dengan anak-anaknya, majikan dengan para pembantunya. Bagian ketiga ilmu yang mempelajari tentang politik, pimpinan, negara dan masyarakat yang utama atau sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. 1975. al-Tarbiyah al-Islamiyah. Mesir: Isa al-Baby al-Halaby wa syurakauh
al-Ghazali, Imam. Ihya Ulum al-Din, Juz. III. Beirut: Dar al-Fikr
Al-Qifthi, Ibn. 1326. Ikhbar al-‘Ulama bi Ikhbar al-Hukama. Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah
Fakhry, Majid. 1989. Sejarah Filsafat Islam (Terj A Histori of Medieval Islamic Philosofi). Jakarta: Pustaka Jaya
Khalikan, Ibn. 1948. Wafayat al-A’yan. Mesir: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi Pendidikan
Nata, Abuddin. 2006. Konsep Pendidikan Ibnu Sina. Jakarta: UIN Pres
Sina, Ibnu. 1908. Tis’u Rasail. Mesir: Dar al-Ma’arif
0 komentar:
Posting Komentar