Keraton
kasepuhan Cirebon terletak di Jalan Keraton Kasepuhan No. 43, Kelurahan
Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat,
Indonesia. Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan tapak sejarah penting. Ia
merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat penyebaran Islam di Jawa
Barat. Mula-mula keraton kaepuhan Cirebon ini didirikan oleh Pangeran
Cakrabuwana dengan nama Keraton Pakungwati, kemudian diperluas dan
diperbaharui oleh Sunan Gunung Jati pada 1483 M. saat ini, keraton masih
tetap lestari, terjaga dan terawat dengan segala peninggalannya dan
arsitektur yang bernilai tinggi.
Seperti
daerah pesisir umumnya, Pelabuhan Cirebon pada masa lalu dikenal
sebagai pusat perdagangan internasional. Kota Cirebon pun banyak
disinggahi para pedagang dan saudagar. Menurut catatan, sebutan Cirebon
berasal dari kata "caruban" yang artinya campuran. Sebab kala itu,
banyak pedagang dan saudagar dari berbagai bangsa yang berbaur dan
menetap di kota itu. Kemudian terciptalah akulturasi budaya.
Oleh
karena Keraton Kasepuhan erat kaitannya dengan kebudayaan Cirebon, maka
penulis akan membahasnya sebagai pengetahuan kita tentang salah satu
budaya dan sejarah Cirebon, Jawa Barat.
Sejarah Kesultanan Cirebon
Kesultanan
Cirebon adalah sebuah kerajaan islam yang ternama di Jawa Barat.
Kerajaan ini berkuasa pada abad ke 15 hingga abad ke 16 M. Letak
kesultanan cirebon adalah di pantai utara pulau Jjawa. Lokasinya yang
berada pada perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat
Kesultanan Cirebon menjadi “jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda.
Sehingga, di Cirebon tercipta suatu bauran kebudayaan yang khas, yaitu
Kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun
kebudayaan Sunda.
Pada
awalnya, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng
Tapa. Demikian dikatakan oleh serat Sulendraningrat, yang mendasarkan
pada naskah Babad Tanah Sunda. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi
sebuah desa yang ramai yang diberi nama Caruban. Diberi nama demikian
karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa, agama,
bahasa, dan adat istiadat.
Karena
sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan,
maka berkembanglah pekerjaan nenangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah
air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon ini berkembang
sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi
cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya Alam dari pedalaman, cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara jawa. Dari pelaburan cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung antar-kepulauan nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, tidak kalah dengan kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga tumbuh menjadi pusat penyebaran islam di jawa barat.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya Alam dari pedalaman, cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara jawa. Dari pelaburan cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung antar-kepulauan nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, tidak kalah dengan kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga tumbuh menjadi pusat penyebaran islam di jawa barat.
Al
kisah, hiduplah Ki Gedeng Tapa, seorang saudagar kaya di pelabuhan
Muarajati. Ia mulai membuka hutan, membangun sebuah gubuk pada tanggal 1
Sura 1358 (tahun jawa), bertepatan dengan tahun 1445 M. Sejak saat itu,
mulailah para pendatang menetap dan membentuk masyarakat baru di desa
caruban. Kuwu atau kepala desa pertama yang diangkat oleh masyarakat
baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai pangraksabumi atau
wakilnya, diangkatlah raden Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra
prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, putri Ki
Gedeng Tapa. Setelah ki Gedeng Alang-alang meninggal Walangsungsang
bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai Kuwu pengganti ki Gedeng
Alang-alang dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Ketika kakek ki Gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, Cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Ketika kakek ki Gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, Cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Pada
tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya.
Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik
cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir.
Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 –
1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan
Gunung Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba
Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan cirebon dan banten, serta menyebar islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan cirebon dan banten, serta menyebar islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya
kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang
memegang kenali pemerintahan selama syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah
atauFadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi
sultan cirebon sejak tahun 1568
Naiknya
Fatihillah dapat terjadi karena dua kemungkinan pertama, para sultan
Gunung Jati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran Jayakelana, dan pangeran
Bratakelana, meninggal lebih dahulu, sedangkan putra yang masih hidup,
yaitu sultan Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), memerintah di Banten
berdiri sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah menantu
Sunan Gunung Jati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri sunan
Gunung Jati), dan telah menunjukkan kemampuannya dalam memerintah
Cirebon (1546 – 1568) mewakili Sunan Gunug Jati. Sayang, hanya dua tahun
Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal
Fatahillah, tahta jSatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran
Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan ratu I, dan memerintah
cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan ratu I
meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan
oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, karena ayahnya yaitu
panembahan Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu. Selanjutnya,
pangeran karim dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau panembahan
Girilaya.
Pada
masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua
kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan mataram. Banten curiga,
sebab cirebot dianggap mendekat ke mataram. Di lain pihak, mataram pun
menuduh cirebon tidak lagi sungguh-suingguh mendekatkan diri, karena
panembahan Girilaya dan Sultan Ageng dari banten adalah sama-sama
keturunan pajajaran.
Kondisi
panas ini memuncak dengan meninggalnya panembahan Girilaya saat
berkunjung ke Kartasura. Ia lalu dimakamkan di bukit Girilaya,
Gogyakarta, dengan posisi sejajar dengan makam sultan Agung di Imogiri.
Perlu diketahui, panembahan Girilaya adalah juga menantu Sultan Agung
Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya,
Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra
panembahan Girilaya di tahan di mataram.
Dengan
kematian panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa. Sultan ageng
tirtayasa segera dinobatkan pangeran Wangsakerta sebagai pengganti
panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan ageng
tirtayasa pun kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk
membantu trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi Amangkurat I
dari mataram. Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan
Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke
Cirebon. Bersama satu lagi putra panembahan Girilaya, mereka kemudian
dinobatkan sebagai penguasa kesultanan Cirebon.
Panembahan
Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya, pangeran
Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun
1677, kesultanan cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu
dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni :
1. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703)
2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
3. Pangeran
Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil
Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)
Perubahan
gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua pangeran
girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya
dilantik menjadi sultan Cirebon di Ibukota banten. Sebagai sultan,
mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton
masing-masing. Adapun pangeran wangsakerta tidak diangkat sebagai
Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan
atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron),
yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.
Pergantian
kepemimpinan para sultan di cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai
pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798 – 1803). Saat itu
terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran raja
kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama
kesultanan Kacirebonan.
Kehendak
raja kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya
menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun belanda mengajukan satu
syarat, yaitu agar putra dan para pengganti raja Kanoman tidak berhak
atas gelar sultan. Cukup dengan gelar pangeran saja. Sejak saat itu, di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan
Kacirebonan. Sementara tahta sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan
Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).
Sesudah
kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur
dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan
Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi
pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan
kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya
Kota Cirebon.
Silsilah Kesultanan Kasepuhan
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) 1478 - 1568
P. Adipati Pasarean (P. Muhammad Arifin) 1496 - 1520 *
P. Adipati Carbon I (P. Sedang Kemuning) 1520 – 1533
Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul Arifin) 1568 – 1649
P. Adipati Carbon II (P. Sedang Gayam) 1578 *
Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya) 1649 -1622
KESULTANAN KASEPUHAN
KESULTANAN KANOMAN KESULTANAN KACIREBONAN
Sultan Anom (Sultan Badridin) 1679 Panembahan Agung Gusti
P. Syamsuddin Martawijaya (Sultan Sepuh I) 1662 – 1697
P. Djamaluddin (Sultan Sepuh II) 1697 – 1720
P. Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III) 1720 – 1750
P. Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV) 1750 – 1778
P. Syafiudin/Slt. Matangadji (Sultan Sepuh V) 1778 – 1784
P. Hasanuddin (Sultan Sepuh VI) 1784 – 1790
P. Djoharuddin (Sultan Sepuh VII) 1790 – 1816
P. Radja Udaka (Sultan Sepuh VIII) 1816 – 1845
P. Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX) 1845 -1890
P. Radja Atmadja (Sultan Sepuh X) 1890 -1899
P. Radja Aluda Tajul Arifin (Sultan Sepuh XI) 1899 – 1942
P. Radja Radjadiningrat (Sultan Sepuh XII) 1942 – 1969
P.R.A.H. Maulana Pakuningrat, S.E (Sultan Sepuh XIII) 1969 –sekarang
P. Arif Natadiningrat, S.E (Sultan Sepuh XIV) – kandidat tunggu pelantikan
Arsiktektur dan interior
Apabila
kita perhatikan ruang luar kraton kasepuhan, kita bisa melihat
bagaimana perpabuan unsur-unsur Eropa seperti meriam dan patung singa di
halaman muka, furniter dan meja kaca gaya Prancis tempat para tamu
sultan berkaca sebelum menghadap, gerbang ukiran Bali dan pintu kayu
model ukiran Prancis yang menampakan gambaran kosmpolitan kraton
kasepuhan sekarang. Arsitektur dan koleksi benda-benda milik Katon
Kasepuhan yang tersimpan dalam museum kraton dengan demikian memberikan
sebuah gambaran tentang sifat kosmopolitan keraton pada masa kejayaan
kesultanan Cirebon pada abad ke-15 dan ke-16.
Koleksi Sejarah Yang dimiliki
Mengunjungi
Keraton Kasepuhan seakan-akan mengunjungi Kota Cirebon tempo dulu.
Keberadaan Keraton Kasepuhan juga kian mengukuhkan bahwa di kota Cirebon
pernah terjadi akulturasi. Akulturasi yang terjadi tidak saja antara
kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Sunda, tapi juga dengan berbagai
kebudayaan di dunia, seperti Cina,India, Arab, dan Eropa seperti yng
sudah di jelaskan di atas. Hal inilah yang membentuk identitas dan
tipikal masyarakat Cirebon dewasa ini, yang bukan Jawa dan juga bukan
Sunda.
Kesan
tersebut sudah terasa sedari awal memasuki lokasi keraton. Keberadaan
dua patung macan putih di gerbangnya, selain melambangkan bahwa
Kesultanan Cirebon merupakan penerus Kerajaan Padjajaran, juga
memperlihatkan pengaruh agama Hindu sebagai agama resmi Kerajaan
Padjajaran. Gerbangnya yang menyerupai pura di Bali, ukiran daun pintu
gapuranya yang bergaya Eropa, pagar Siti Hingilnya dari keramik Cina,
dan tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas
arsitektur Jawa, merupakan bukti lain terjadinya akulturasi.
Nuansa
akulturasi kian kentara ketika memasuki ruang depannya yang berfungsi
sebagai museum. Selain berisi berbagai pernak-pernik khas kerajaan Jawa
pada umumnya, seperti kereta kencana singa barong, dua tandu kuno, dan
berbagai jenis senjata pusaka berusia ratusan tahun, di museum ini
pengunjung juga dapat melihat berbagai koleksi cinderamata berupa
perhiasan dan senjata dari luar negeri, seperti senapan Mesir, meriam
Mongol, dan zirah Portugis, tandu permaisuri dan relief kayu yang
menggambarkan persenggamaan antara laki-laki dan perempuan yang
melambangkan kesuburan. Dalam kaitan ini, kita bisa melihat bagaimana
pengaruh tradisi Hindu-Budha dalam sejarah pra-kolonial Jawa masih
bertahan di dalam era kekuasaan raja-raja Islam di Jawa. Meriam portugis
yang menjadi bagian koleksi museum kraton kasepuhan juga menunjukkan
bagaimana hubungan sultan Cirebon tersebut dengan kekuatan maritim Eropa
yang mulai merambah jalur perdagangan rempah-rempah di Nusantara pada
abad 16 dan koleksi penting lainnya dalam museum kraton kasepuhan adalah
apa yang dikenal sekarang sebagai topeng Cirebon. Topeng ini adalah
koleksi yang berasal dari periode Sunan Gunung Jati ini mewakili sebuah
cerita tentang bagaimana seni lokal digunakan sebagai alat penyebaran
agama Islam di wilayah Jawa Barat, yang dapat dibandingkan dengan
penggunaan medium wayang oleh Sunan Kalijaga di Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Singgasana
raja yang terbuat dari kayu sederhana dengan latar sembilan warna
bendera yang melambangkan Wali Songo. Hal ini membuktikan bahwa
Kesultanan Cirebon juga terpengaruh oleh budaya Jawa dan agama Islam.
Selain
itu, di halaman belakang pengunjung dapat melihat taman istana dan
beberapa sumur dari mata air yang dianggap keramat dan membawa berkah.
Kawasan ini ramai dikunjungi peziarah pada upacara panjang jimat yang
digelar pihak keraton setiap tahun untuk memperingati Maulid Nabi
Muhammad SAW.
Gambar
berikut menunjukkan koleksi alat-alat musik degung milik kraton
kasepuhan yang merupakan hadiah dari sultan Banten yang menunjukkan
hubungan penguasa Cirebon dengan penguasa Banten saat itu yang sama-sama
didirikan pada masa kejayaan penguasa-penguasa Islam di Jawa. Di dalam
deretan perlengkapan alat musik tersebut, terdapat alat musik rebana
peninggalan sunan Kalijaga. Di sini kita bisa melihat percampuran antara
tradisi Arab dan Jawa berpadu dalam proses penyebaran agama Islam di
Jawa pada masa itu.
Bangunan
di bagian dalam keraton Kasepuhan sangat indah dan masih terawat dengan
baik. Kursi-kursi kayu jati berukir warna kuning gading berjajar rapi,
dengan lampu-lampu kristal dan dinding berukir indah. Di bagian dalam
terdapat dinding dengan ukiran bunga teratai merah.
Dihalaman
depan terdapat lukisan yang menggambarkan macan putih yang juga
melambangkan kerajaan silihwangi. Dan gambar yang kedua yaitu Prabu
silihwangi bersama dengan macan putih
Kereta
Kencana Singa Barong, kereta ini merupakan kereta hybrida budaya, yaitu
Islam, Hindu dan Cina. Islam diwakili dengan sayap (implementasi dari bouraq,
burung tunggangan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ Mi’raj), Hindu
diwakili dengan gajah (ganesha) dan Cina diwakili dengan naga (walaupun
yang terlihat hanya tanduknya saja), oleh karena itu namanya Paksi
(burung) Naga (naga) Liman (gajah).
Keraton
Kasepuhan dikelilingi pagar dan gapura yang terbuat dari susunan bata
merah. Arsitektur gapura Keraton Kasepuhan memiliki kemiripan dengan
candi-candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terdapat di Trowulan,
Mojokerto.. Dinding dan gapura bata merah ini dibangun tanpa menggunakan
semen.
Di
halaman depan terdapat patung sepasang harimau berwarna putih, yang
merupakan lambang kerajaan Prabu Siliwangi. Bendera dan lambang kerajaan
Cirebon sebelum zaman penjajahan berupa kaligrafi yang juga berbentuk
harimau, bernama Macan Ali.
Menjelang
perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW / 1 Syawal, berbagai rangkaian
prosesi ritual di gelar di Keraton Kanoman Cirebon. Yaitu ritual
penyucian benda-benda pusaka, lukisan, serta kereta paksi naga liman
atau kereta kencana Singa Barong.
Didepan
dari Kraton kasepuhan terdapat alun-alun yang dahulunya dilaksanakan
berbagai macam hukuman kepada rakyatnya melanggar peraturan seperti
hukuman cambuk hingga mati.
Upacara Adat
1. Syawalan Gunung Jati
Setiap
awal bula syawal masyarakat wilayah Cirebon umumnya melakukan ziarah ke
makam Sunan Gunung Jati. Di samping itu juga untuk melakukan tahlilan.
2. Ganti Welit
Upacara
yag dilaksanakan setiap tahun di Makam Kramat Trusmi untuk mengganti
atap makam keluarga Ki Buyut Trusmi yang menggunakan Welit (anyaman daun
kelapa). Upacara dilakukan oleh masyarakat Trusmi. Biasanya
dilaksanakan pada tanggal 25 bulan Mulud.
3. Rajaban
Upacara
dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon.
Umumnya dihadiri oleh para kerabat dari keturunan dari kedua Pangeran
tersebut. Dilaksanakan setiap 27 Rajab. Terletak di obyek wisata Plangon
Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber kurang lebih 1 Km dari pusat kota
Sumber.
4. Ganti Sirap
Upacara
yang dilaksanakan setiap 4 tahun sekali di makam kramat Ki Buyut Trusmi
untuk mengganti atap makam yang menggunakan Sirap. Biasanya dimeriahkan
dengan pertunjukan wayang Kulit dan Terbang.
5. Muludan
Upacara
adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) di Makam Sunan
Gunung Jati. Yaitu kegiatan membersihkan / mencuci Pusaka Keraton yang
dikenal dengan istilah Panjang Jimat. Kegiatan ini dilaksanakan pada
tanggal 8 s/d 12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatan dilaksanakan di
Keraton.
6. Salawean Trusmi
Salah
satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di Makam Ki Buyut Trusmi. Di
samping itu juga dilaksanakan tahlilan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap
tanggal 25 bulan Mulud.
7. Nadran
Nadran
atau pesta laut seperti umumnya dilaksanakan oleh nelayan dengan tujuan
untuk keselamatan dan upacara terima kasih kepada Sang Pencipta yang
telah memberikan rezeki. Dilaksanakan dihampir sepanjang pantai (tempat
berlabuh nelayan) dengan waktu kegiatan bervariasi.
Prediksi Togel HK Mbah Bonar 30 Agustus 2019 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Ratusan Juta Rupiah !!!
BalasHapus