Nama Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (Ibnu Rusyd) sangat terkenal di dunia Islam. Ia tidak saja dikenal sebagai ahli fikih (kitabnya Bidayatul Mujtahiddan Al-Muqaddimah), Ibnu Rusyd (1126-1198) juga dikenal sebagai seorang filsuf Islam.
Salah satu karyanya yang sangat terkenal dan fenomenal dalam bidang filsafat adalah Tahafut at-Tahafut (Keruntuhan Kitab Tahafut). Kitab ini ditulisnya sebagai bantahan dan kritik atas kitab Al-Ghazali (1059-1111) yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Keruntuhan Filsafat).
Tak ada catatan persis, kapan Ibnu Rusyd menulis kitab Tahafut at-Tahafut. Tetapi yang jelas, jika menilik kitabnya yang lain, seperti Fash al-Maqal fima baina al-Hikmati wa as-Syariati min al-Ittishal (Kata Pemutus tentang Pertemuan Agama dan Filsafat) dan Manahij al-Adilllah (Metode Pembuktian), kitab ini ditulis saat Ibnu Rusyd mencapai puncak kematangan rasional dan berpikir kira-kira saat berusia 50 tahun ke atas.
Indikasi kematangan ini misalnya terlihat tatkala Ibnu Rusyd menggunakan kata yang sama untuk nama bukunya sebagaimana Al-Ghazali, yaitu Tahafut, yang berarti kontradiksi atau keruntuhan. Ibnu Rusyd tidak secara gamblang menyebutkan kontradiksi siapakah yang dimaksud, tetapi cukup disebutkan dengan Tahafut at-Tahafut, bukan Tahafut Al-Ghazali. Sebab, tidak semua asumsi Al-Ghazali dibantah oleh Ibnu Rusyd.
Namun, banyak pihak meyakini bahwa karya itu dimaksudkan atas bantahannya terhadap Al-Ghazali yang menyatakan tentang keruntuhan filsafat. Hal serupa juga terlihat dalam karya Al-Ghazali dengan menyebut karyanya Tahafut al-Falasifah.
Penamaan tersebut dimaksudkan Al-Ghazali untuk menyerang keprofanan pemikiran para filsuf, terutama dalam beberapa persoalan filsafat ketuhanan dan kosmologi. Al-Ghazali tidak menyerang keseluruhan pemikiran filsafat. Namun, ia menganggap ada sesuatu yang salah dengan pemikiran filsafat yang dikemukakan banyak orang pada saat itu.
Tentu saja, tidak tepat memposisikan Al-Ghazali antipati terhadap filsafat secara total, begitu pula mengklaim bahwa Ibnu Rusyd mengkritik keseluruhan bantahan Al-Ghazali atas filsafat. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh Sulaiman Dunya dalam pengantar atas terjemahan kitab Tahafut al-Falasifah, kitab Al-Ghazali ini ditulisnya ketika ia dalam fase skeptis ringan (asy-Syakk al-khafif), yakni ketika ia belum mendapatkan petunjuk pada hakikat kebenaran sejati.
Hal ini diungkapkan sendiri oleh Al-Ghazali dalam mukadimah kitab tersebut dengan berkata, "Kami tidak menetapkan dalam buku ini, kecuali mendustakan mazhab mereka (para filsuf). Sedangkan, untuk mengafirmasi mazhab yang benar, kami akan menyusun sebuah buku yang kami beri judul Qawa’id al-’Aqa’id. Dengan buku tersebut, kami bermaksud melakukan afirmasi sebagaimana kami bermaksud melakukan dekonstruksi dengan buku Tahafut."
Jadi, kata Sulaiman Dunya, kitab Tahafut al-Falasifah Al-Ghazali tidak bisa dijadikan sasaran untuk membantah atau menyerang Ibnu Rusyd, melainkan para ahli filsafat. "Dalam karya itu, Al-Ghazali justru menyerang pandangan para filsuf barat yang keliru dalam memahami keazalian Allah," ujarnya.
Sementara itu, Ibnu Rusyd dalam karyanya ini mengungkap faktor yang menjadi
pemicu kritik Al-Ghazali atas filsafat adalah Ibnu Sina yang tidak menjabarkan secara komprehensif terutama tentang filsafat ketuhanan dan kosmologi.
Sehingga, pada dasarnya kitab ini pun selain ditujukan sebagai sanggahan Tahafut al-Falasifah, secara tak langsung juga membantah pemikiran Ibnu Sina.
Jika ditelusuri lebih jauh, terdapat perbedaan antara Ibnu Rusyd, Al-Farabi, dan Ibnu Sina pada pengaruh ide-ide Neo Platonisme. Ia lebih sedikit dipengaruhi oleh ide Neo Platonisme. Ia menolak ide penciptaan dari tiada dan menetapkan keabadian materi.
Dalam kitab ini, Ibnu Rusyd menyanggah asumsi Al-Ghazali atas filsafat yang tertuang dalam bukunya yang bertajuk Tahafut al-Falasifah. Dalam simpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 persoalan. Tujuhbelas masalah di antaranya oleh Al-Ghazali dikategorikan bid’ah.
Di akhir bukunya, ada tiga perkara yang disimpulkan Al-Ghazali akan menyebabkan kepada kekufuran. Ketiga hal tersebut yaitu pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past), pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular (juz’iyyat), dan terakhir adalah paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menariknya, ketajaman berpikir Ibnu Rusyd dengan menggunakan akal rasional dapat diselaraskan dengan penafsiran agama secara rasional. Sekalipun, interpretasi yang dihasilkan tetap sejalan dengan sumber agama, yaitu Alquran dan Sunnah. Bahkan, Ibnu Rusyd tak segan berkesimpulan dalam kajiannya dan menegaskan bahwa para filsuflah yang mampu menguak rahasia Alquran dan mentakwilkannya.
Ibnu Rusyd berusaha melakukan klarifikasi atas persepsi Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan mengklarifikasi keberadaan filsafat dan merumuskan harmonisasinya dengan agama.
Menurut Ibnu Rusyd, syariat merupakan jalan hidup yang benar, maka tentu menyeru mempelajari sesuatu yang benar pula. Tidak terdapat pertentangan antara syariat dan filsafat. Bahkan, agama menyerukan umat manusia untuk berpikir dan berfilsafat. Karena sejatinya kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain.
Sebaliknya akan semakin menguatkan, dan jika sesuai, itu tidak ada persoalan. Tetapi, jika berselisih, harus dilakukan takwil (interpretasi) sehingga bisa sesuai dengan pendapat akal. Terdapat beberapa ayat yang menyerukan penggunaan akal untuk memaksimalkan peran akal diantaranya QS Al-Hasyr: 2, QS Al-A’raf: 185, QS Al-An’am: 75, QS Al-Ghasiyah: 17, dan QS Ali-Imran: 191. Wallahua’lam.
0 komentar:
Posting Komentar