Kerajaan
Samudera Pasai
Secara
geografis, letak Samudera Pasai berada di daerah timur Pulau Sumatera bagian
utara yang berdekatan dengan jalur perdagangan perdagangan internasional, Selat
Malaka. Berdasarkan hikayat Raja-Raja Pasai, diceritkan tentang pendirian Pasai
oleh Meurah Silu, setelah sebelumnya ia menyingkirkan seorang Raja yang bernama
Sultan Malik al Nasser. Meurah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan
yang disebut dega Samerlanga kemudian setelah naik tahta, beliau bergelar
Sultan Malikul Saleh. Dia mangkat pada tahun 1297 M.
Dalam
hikayat Raja-Raja Pasai maupun Sulalatus Salatin, nama Pasai da Samudera
dipisahkan merujuk pada dua kawasan berbeda, namun dalam catatan Tiongkok, nama-nama
itu tidak dipisahkan sama sekali. Sementara Marcopolo dalam lawatannya mencatat
beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur pulau Sumatera waktu itu,
dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara
(Samudera).
Pemerintahan
Sultan Malikul Saleh kemudian dilajutkan oleh putraya Sultan Muhammad Malik
az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan
Sultan Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uag telah diperkenalkan di pasai.
Setelah dia mangkat, dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik az-Zahirndan
memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya inilah Pasai dikunjungi
oleh seorang pengembara dari Timur Tengah Ibnu Batuttah yang kemudia
menceritkan sultan dari negeri Samatrah (Samudera) menyambutya dengan ramah dan
mayoritas penduduk disana menganut mazhab Syafi’i.
Selanjutnya
pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir, datang serangan dari
Majapahit sekitar tahun 1345 dan 1350 sehingga sultan terpaksa melarikan diri.
Pasai bangkit kembali dibawah pemerintahan Sultan Zainal Abidin tahun 1383.
Dalam catatan China, namanya dikenal dengan sebutan Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki,
dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar
208 kapal mengunjungi Pasai berturut-turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412.
Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho, yang dicatat oleh para pembantunya
seperti Ma Huan dan Fei Xin. Dalam
kunjungannya ke Pasai, Cheng Ho menyampaikan hadiah dari Kaisar China berupa
sebuah lonceng yang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya.
Sekitar
tahun 1434, Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han
namun wafat di Bejing. Kaisar Xuade dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke
Pasai untuk menyampaikan berita tersebut. Pasai merupakan kota dagang,
mengandalkan lada sebagai komoditi utamanya. Dalam catata Ma Huan disebutkan
100 kati lada dijual degan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan kesultanan
Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata
uang ini disebut deureuham yang dibuat dari 70% emas murni dengan berat 0.60
gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Kami kutip dari essay pendek berjudul
“Walisongo, Para Muballigh Asal Kerajaan Samudera Pasai. Dulu Mantap Kini
Digugat” karangan Pak T.A Sakti, dinyatakan
bahwa empat dari sembilan Wali Songo yang terkenal itu berasal dari Samudera
Pasai, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Drajat, dan Sunan Bonang.
Hal ini menunjukkan betapa berpengaruhnya Kerajaan Samudera saat itu dalam
bidang menyebar luaskan agama Islam.
Sementara itu, masyarakat Pasai
umumnnya telah menanam padi di ladang yang dipanen 2 kali dalam setahun, serta
memiliki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya
memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan
lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun
dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan. Dengan
diskripsi ini, tidak dipungkiri kita dapat mengatakan betapa sejahteranya
kehidupan masyarakat pada masa itu.
Meskipun Islam adalah agama yang
dianut oleh masyarakat Pasai, akan tetapi pengaruh Hindu dan Budha juga turut
mewarnai masyarakat ini. dari catatan Ma Huan dan Tom Pires, telah
membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial masyarakat Pasai mirip dengan
Malaka, seperti tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Dalam
ritual ini, masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Buddha.
Dalam karangan lain Pak T.A Sakti disebutkan bahwa bahasa Melayu yang ada di Pasai
adalah akar tunggang dari bahasa Nasional Indonesia yang kita pakai pada saat
ini. hal ini juga menunjukan betapa berpengaruhnya Kerajaan Samudera Pasai
bukan hanya pada zamannya, akan tetapi beberapa abad setelah keruntuhannya.
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan
Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang mengakibatkan
perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan
kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kerajaan Pasai
sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukan oleh portugal tahun 1524 yang
sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah
Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam.
Adapun Raja-Raja yang memerintah di
Kerajaan Samudera Pasai adalah sebagai berikut:
A.
Dinasti Meurah Giri
1.
Maharaja Mahmud Syah (1042-1078)
2.
Maharaja Mansur Syah (1078-1133)
3.
Maharaja Ghiyasyuddin Syah (1133-1155)
4.
Maharaja Nurdin (1155-1210)
B.
Dinasti Malikul-Dhahir
1.
Sultan Alaiddin Malikussalih (1261-1295)
2.
Sultan Muhammad malikud-Dhahir (1295-1326)
3.
Sultan Ahmad Malikud-Dhahir (1326-1350)
4.
Sultan Zainul-Abidin Malikud-Dhahir (1350-1394)
5.
Maharaja nagur Rabbath Abdul Kadir Syah (1394-1400)
6.
Sultanah Nihrasiyah Khadiyu (1400-1428)
Manakah
Kerajaan Islam yang Pertama?
Perlak di Aceh Timur disebut sebagai
kerajaan Islam pertama di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Kesimpulan dari
Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980,
keputusan itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi
Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy. Itu yang
menyisahkan pertanyaan bagi sebagian sejarawan mengenai kebenaran sejarah itu.
Kitab Idharul Haq yang dijadikan
sumber satu-satunya. Sebagian sejarawan meragukannya. Apalagi kitab Idharul Haq
yang diperlihatkan dalam seminar itu katanya bukan dalam bentuk asli, tidak
utuh lagi melainkan hanya lembaran lepas. Kitab itu sendiri masih misteri,
karena sampai sekarang belum ditemukan dalam bentuk aslinya. Sehingga ada yang
mengatakan kita Idharul Haq ini hanya satu rekayasa sejarah untuk menguatkan
pendapat bahwa berdasarkan kitab itu benar kerajaan Islam pertama di Aceh dan
Nusantara adalah kerajaan Islam Perlak.
Banyak peneliti sejarah kritis,
meragukan Perlak itu sebagai tempat pertama berdirinya kerajaan Islam besar di
Aceh. Diperkuat dengan belum adanya ditemukan artevak-artevak atau situs-situs
tertua peninggalan sejarah. Sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan
kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Samudra
Pasai yang terdapat di Aceh Utara. Banyak bukti yang meyakinkan, baik dalam
bentuk teks maupun benda-benda arkeologis lainnya. Seperti mata uang dirham
pasai dan batu-batu nisan yang bertuliskan tahun wafatnya para Sultan kerajaan
Islam Samudra Pasai.
Samudera Pasai sebagai kerajaan
pertama di nusantara kerena diukung oleh beberapa bukti-bukti peninggalan
sejarah yang dapat dijadikan alasan yang kuat. Misalnya makam Sultan Malikul
Saleh. Akan tetapi karena sumber terkini juga banyak menyebutkan bahwa
kerajaaan Perlak adalah yang pertama di nusantara, misalnya buku Gerak
Kebangkitan Aceh karya M. Junus Jamil, maka hal ini telah menjadi semacam
doktrin yang sulit untuk dilepaskan dari pemahaman bannyak orang tentang kerajaan
mana yang lebih dahulu berdiri.
Dari sekia banyak referensi yang
berhasil kami kumpulkan, belumlah cukup untuk kami menyatakan kerajaan manakah
yag lebih dahulu muncul. Akan tetapi jika memang harus tetap memutuskan
kerajaan mana yang lebih dahulu berdiri, kami akan mengatakan Samudera Pasai.
Ini dikarenakan banyaknya sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu
kita tidak bisa lepas dari pernyataan “No Document, No History”.
0 komentar:
Posting Komentar